Tadi pagi saya menyaksikan kematian. Tiga minggu lalu saya juga menyaksikan kematian dan empat bulan yang lalu saya sendiri yang mengalami kematian. Dalam rentang waktu yang berbeda, kematian berhasil mengganggu stabilitas hidup saya.
Hingga detik sebelum saya menulis fragmen demi fragmen kata yang terlintas begitu saja dalam kepala saya, saya masih bersitegang otot dan otak tentang haruskah saya dokumentasikan peristiwa yang tak mengenakkan ini hingga terkekalkan dalam bentuk sebuah catatan singkat.
Saya rasa tak ada salahnya juga saya ragu, karena tulisan demi tulisan tentang saya, saya dan saya ini hanyalah hal yang biasa bagi pembaca, sementara saya jungkir balik menjalaninya. Namun, memendamnya ternyata jauh lebih sulit.
Kembali kepada kematian yang ingin saya bicarakan. Tadi pagi saya menyaksikan kematian. Perhatian saya terpusat pada yang mati dan yang ditinggal mati. Saya mendengar betapa kosongnya tangis kehilangan yang ditinggal mati dan betapa damainya wajah yang mengalami mati. Ah, kematian ini membuat saya menyesal tak meninggalkan telinga saya di balik tempat tidur barang sebentar saja.
Kemudian, tiga minggu yang lalu saya juga menyaksikan kematian. Bedanya, saya sedikit bisa tenang karena saya tak perlu menyesal tak meninggalkan telinga saya di balik tempat tidur. Namun, saya malah lebih meradang dalam kematian ini, karena saya tak hanya tak melihat orang yang mati namun juga tak melihat yang ditinggal mati itu hingga detik ini. Sudah tiga minggu ini saya menunggunya di kampus, di tempat kursus Bahasa Inggris dan di jalan yang biasa dia lalui, namun hasilnya nihil.
Saya sempat membayangkan pembimbing satu dan dua yang sudah menyetujui dan menentukan tanggal untuk seminar proposal. Kedua pembimbing sedang memain-mainkan bolpoint di atas tumpukan kertas sambil mengatakan, “belum ada dalam sejarah, dosen menunggu mahasiswa, apa-apan ini,” kemudian keduanya keluar dari dalam ruangan sambil membuang tumpukan kertas itu menjadi helaian-helaian tak beraturan. Kemudian datang seorang berseragam abu-abu muda dengan sapu di tangan kanan dan sekop di tangan kiri. Kemudian, kemudian, dan kemudiannya lagi, cukup di dalam khayalan saya saja.
Dan yang terakhir, saya bukanlah yang menyaksikan kematian, tapi saya sendiri yang mengalami kematian. Kematian kecil, begitulah saya mendefinisikannya. Berpisah dengan seseorang yang pernah saya sayangi sepenuh hati, uh klise sekali. Tapi saya ada benarnya juga, bukankah perpisahan bisa saya katakan kematian karena ada yang hilang dalam perpisahan. Persis sama dengan konsep kematian, ada yang hilang, ada yang ditinggalkan dan ada yang meninggalkan.
Memang benar, dengan segala kesoktahuan saya, saya katakan, perpisahan saya dengan orang yang saya sayangi adalah sebuah kematian kecil. Saya tak tahu apakah itu benar atau tidak. Tentunya sampai sekarang saya masih merasa di dunia ini tak ada yang benar. Semuanya hanya agak benar, mendekati benar atau lumayan benar.
Seperti yang pernah saya baca dari penulis favorit saya, Seno Gumira Ajidarma bahwa kebenaran itu mustahil diketahui karena manusia selalu berada dalam kondisi ketercakrawalaannya sendiri. Manusia tak akan pernah mampu menengok seberang cakrawala itu sedangkan apa yang manusia ketahui antara dirinya hanya sampai di batas cakrawala itu.
Yah, seperti kematian yang saya bicarakan ini.
Santi Syafiana, menjelang 13 Juni
Friday, July 2, 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment